[Unpad.ac.id, 30/4] Proses mediasi bisa menjadi salah satu upaya hukum yang dapat dilakukan dalam peradilan pidana untuk penyelesaian kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Mediasi dianggap lebih sesuai dengan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang bersifat preventif dan represif dalam menyelesaikan kasus KDRT. Penyelesaian melalui peradilan pidana yang diterapkan selama ini dianggap terlalu kaku dan justru menimbulkan berbagai masalah baru.
“Penyelesaian proses peradilan selama ini dirasakan belum memberikan rasa adil bagi tujuan berumah tangga yang harmonis karena selalu berakhir dengan pidana penjara yang akhirnya merontokkan sendi harmonisasi serta keseimbangan hak korban, nafkah bagi anak-anak terpidana serta kelangsungan hidup berumah tangga seterusnya,” jelas Ridwan Mansyur saat mempertahankan disertasinya yang berjudul “Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Sistem Peradilan Pidana dari Perspektif Restorative Justice” pada Sidang Terbuka Promosi Doktor di Ruang Sidang Gedung Pascasarjana Unpad, Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung, Jumat (30/04).
Ridwan yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri Batam ini menjelaskan bahwa proses mediasi dalam penanganan perkara KDRT ini sebenarnya secara tidak langsung telah menyosialisasikan persepsi restorative justice dalam perkara tersebut. Ia menyampaikan bahwarestorative justice sesuai dengan pengertian dari Tony Marshall yang menyebutkan sebagai sebuah proses dimana semua pihak yang terlibat dalam sebuah tindak pidana tertentu bersama-sama mencari penyelesaiannya dalam menghadapi kejadian setelah timbulnya tindak pidana tersebut serta bagaimana mengatasi implikasinya di masa datang.
Ia menerangkan bahwa mediasi ini tidak terpisah dari proses peradilan tapi menjadi bagian pada proses tersebut. Proses mediasi yang telah disesuaikan dengan Sistem Peradilan Pidana Indonesia diberlakukan setelah prosedur Pasal 155 ayat (1) KUHAP. Pada awal persidangan sebelum adanya pembacaan Surat Dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum, hakim diwajibkan untuk menawarkan kepada pelaku dan korban mengenai mekanisme penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga dengan metode mediasi. Dalam proses ini akan terjadi dialog antara korban dan pelaku, dan hakim menunjuk seorang hakim mediator atau mediator hasil.
“Apabila sampai dengan waktu tertentu di dalam proses mediasi tersebut tidak tercapai perdamaian, maka proses selanjutnya adalah melanjutkan persidangan sesuai dengan KUHAP maupun Sistem Peradilan Pidana Indonesia, dengan tetap memperhatikan hasil mediasi tersebut. Akan tetapi bila tercapai kesepakatan, maka hakim dapat mempertimbangkan hasil mediasi tersebut dalam putusan,” tutur Ridwan.
Menurut mantan Hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia ini, proses mediasi sesuai dengan restorative justice ini sebetulnya bukan hal baru bagi masyarakat Indonesia. Mediasi ini menganut nilai-nilai kekeluargaan dan musyawarah untuk mufakat sebagaimana yang dianut masyarakat Indonesia.
“Akan tetapi, dalam sebuah peradilan pidana, mediasi biasanya tidak dimasukkan dalam proses peradilan, tapi diluar proses tersebut. Oleh karena itu, hal ini menjadi konsep baru bagi penerapan hukum pidana di Indonesia yang diawali dalam penyelesaian kasus KDRT. Diharapkan penerapan mediasi sebagai pengembangan restorative justice ini dapat diterapkan pada kasus-kasus lainnya,” ujar Ridwan yang berhasil lulus dengan predikat cum laude. (eh)*
0 comments:
Posting Komentar